Motivasi dan Peranan ‘Sintua HKBP
dan Keluarga’
Melayani Tuhan di Tengah Gereja,
Keluarga
dan Masyarakat Era Revolusi Digital
Pdt.
Dr. Sukanto Limbong[1]
1.
Pengantar
Barometer perubahan
dunia era digital begitu cepat. Setara dengan sebuah gerakan revolusi, di mana
manusia dipacu beradaptasi secara cepat dan anti lelet ke dalam sebuah era inovasi yang bergerak super dinamis namun
begitu disruptif. Ditandai dengan meningkatnya konektivitas, keterhubungan baru
antara manusia dan mesin, serta transfer digital ke dunia fisik. Disadari atau
tidak kondisi ini benar-benar mengguncang semua tatanan dan mau tidak mau
manusia dipaksa “mengimani” pesatnya kemajuan dengan kepungan teknologi. Tak
heran bila sehebat Stephen Hawkings pernah menjuluki era ini sebagai era terbaik sekaligus era terburuk bagi kemanusiaan, dan ia
menduga era inilah akhir dari evolusi itu sendiri.
Sintua HKBP dan keluarga terpanggil melayani
di Gereja,
Keluarga, dan Masyarakat di Era
Revolusi Industri 4.0, Era
revolusi
digital ini. Isu utama era artificial intelligence ini
bukan pada pemakaian teknologinya seperti gadget, website, boleh tidaknya
memakai aplikasi Alkitab di gereja, perlu tidaknya memakai powerpoint di
peribadahan gereja, tetapi pada perubahan sikap manusia, perubahan cara
pandangnya, relasinya bahkan penghayatannya akan Tuhan di era digital ini.
Kondisi sedemikian ini memerlukan kehadiran Sintua HKBP bersama keluarga di
garis terdepan melayani Tuhan di jemaat, keluarga dan masyarakat.
Tulisan ini tentu tidak bermaksud untuk
mensimplifikasi persoalan era Revolusi Industri 4.0 ini hanya sebagai
tanggung jawab Sintua HKBP dan keluarganya. Sintua HKBP dan Keluarga diangkat di sini semata-mata
untuk mewakili salah satu
tohonan pelayan di gereja HKBP, karena
mustahil untuk memutus keterhubungan tohonan Sintua dan arak-arakan pelayanan tohonan
yang lainnya. Tulisan
ini sengaja diarahkan untuk mengantar diskusi atau percakapan mengenai bagaimana
motivasi
dan peran Sintua HKBP dan keluarga di era saat ini.
2.
Gereja dan Pelayan(an) di Era
Digital
2.1.
Dunia Berubah begitu Pesat
Perlahan namun pasti,
dunia virtual semakin bergeser kepada kerajaan virtual, identitas manusia
semakin dibentuk oleh perkembangan berpikirnya. Meminjam istilah Kurzeil, kita
bukan lagi hardware tetapi sudah
menjadi software[2].
Bukan lagi jiwa yang bertubuh tetapi menjadi manusia super hebat yang
"terpisah" dari tubuh[3],
betul bahwa setiap software
memerlukan hardware, maka kita tidak
betul-betul terpisah dari tubuh, tetapi kita akan menempatkan ulang tubuh
seturut dengan tubuh virtual. Dunia maya tempat para generasi milenial mangkal[4],
telah menjadikan kerajaan virtual ini menjadi ruang individualisasi, ruang
sosialisasi serta ruang ekspresi bagi mereka. Sehingga mereka bukan saja
anak-anak Kerajaan Alllah, melainkan anak-anak kerajaan virtual.
Semua perangkat kemajuan ini bergerak di ruang
kemanusiaan, manusia sebagai "homopublicus",
manusia dikenali dari relasi sosial yang dihidupinya. Seseorang dapat terlihat
begitu berbuasana agamais, namun sesungguhnya hanya terdorong oleh trend/gaya
tertentu. Di sini berjejer sejumlah persoalan, seperti halnya kapitalisasi
spiritualitas dan fenomena spiritualtainment[5].
2.2.
Gereja di Tengah Goncangan Perubahan
Gereja kini telah
berubah menjadi tontonan ketimbang tuntunan. Kehadiran gereja dalam kehidupan
sosial dipraktekkan dengan mengonsumsi berbagai simbol religius. Dari segi
agama Hjarvard[6]
menilai ada dua pola hubungan yang kini sedang terjadi, pertama, agama dalam internet dipresentasikan
dalam media memengaruhi individu maupun komunitas di konteks yang lebih luas,
dan yang kedua internet sebagai agama,
media internet sebagai sebuah agama yang baru, paling tidak dimaknakan secara
baru.
Gereja digeser (atau bergeser
sendiri) menjadi komoditas, yang terus berjuang menjanjikan pasar bagi
khalayak. Religiositas tidak lagi menjadi sesuatu yang sakral, melainkan
sesuatu yang populer bahkan menjadi komoditas yang perlu dipamerkan. Upaya
komodifikasi yang terus berjuang mengubah nilai guna menjadi nilai tukar[7].
Aktivitas beragama bergerak ke suksesi kultur baru, smartphonisasi agama. Namanya sebuah komoditas agar supaya ia tetap
bisa bertahan, maka ia harus terus menerus diproduksi secara temporer,
satu-satunya cara adalah membentuk dan mengubah-ubah selera pengikutnya. Secara
perlahan agama terseret mengikut arus zaman dan semakin kehilangan (1) daya
otoritasnya dan daya (2) reflektifnya.
2.3.
Maya
Tetapi
Tidak Sepenuhnya
Maya
Dunia
mayameskipun
nosional (abstrak) tetapi di situlah jejaring terjadi, meskipun maya tetapi
bukan murni abstrak, ia tetap menjadi sebuah realitas. Ia tetap merupakan
bagian dari pengalaman sehari-hari terutama kalangan muda. Internet adalah
tempat bertemunya berbagai hubungan baru. Tak ada ubahnya dengan kehidupan yang
nyata, di mana segala sifat baik dan buruk manusia berjumpa. Dengan demikian cyberspace (dunia maya) tidak menjadi
sebuah tempat yang terpisah dari kehidupan kita, ia adalah sebuah realitas
bernama realitas virtual.
3.
Menggumuli Peran Sintua HKBP dan
Keluarga Sintua
Tugas utama seluruh orang percaya termasuk Sintua HKBP di dalamnya
adalah memberitakan Injil. Tugas
ini berasal dari Tuhan Yesus Kristus, Matius
28:19-20 mengambarkannya sebagai
amanat agung. Secara lebih
terperinci tugas ini dapat dilihat dalam Kisah Para Rasul 1:8
disebutkan “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau
Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan
di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi".
Pertama,
Tuhan memberi
tugas marhalado sebagai sebuah tugas kehormatan yakni “menjadi saksi”, sebab sebelumnya
Allah cukup memakai malaikat menjadi saksinya, kepada Maria, kepada para
gembala, kapan dan di mana pun. Kedua, hidup adalah kesaksian bagi setiap
keadaan dan kesempatan. Ayat
ini menunjuk yang pertama di Yerusalem (keluarga,rumah
kita sendiri),
Yudea (Gereja,lingkungan orang seiman), Samaria (masyarakat,orang yang kita kenal namun belum
mengenal Tuhan),
hingga ujung bumi (dunia,orang yang kita tidak kenal dan tidak mengenal kita dan
tidak mengenal Tuhan).
Dalam
agenda HKPB tugas ini dijabarkan menjadi tujuh pokok tugas utama Sintua dalam pelayanan.
Menjadi sintua, perlu menggumuli
beberapa hal
berikut:
1. Lebih dari sekedar terlibat.Menjadi sintua dan keluarga sintua,
memberi diri lebih dari sekadar keterlibatan. Lebih dari sekedar hadir, datang,
ikut dalam menyemarakkan pelayanan. Sintua memerlukan komitmen yang teguh dan
kuat. Terdapat 8 M yang dipakai: mamatamatahon, mangaramoti, maninsang, mandasdas,
manangkasi, maningkir, mangapuli dan mangurupi. Kemudian 3 P, yakni: paboahon, pasingothon, paturehon. Selain
banyak, keseluruhan tugas ini memerlukan energi yang cukup, dukungan keluarga
yang kuat, yang hanya bisa dilakukan bila setiap sintua dan keluarganya
benar-benar berkomitmen
2. Berani memilih.Tarikan dunia ini amat kuat untuk
menahan kita supaya mengabaikan tugas pokok, dan melakukan tugas yang lain
(yang bukan tugas kita). Di sini keluarga bisa berpotensi menjadi penghalang. Maka
dari itu, panggilan ini memerlukan keberanian seorang sintua dan keluarga untuk
memilih mendahulukan dan memenuhi tugas-tugas pokok yang dialamatkan bagi para sintua.
3. Fokus dalam Pelayanan. Petrus
pernah goyah,
takut, ketika Tuhan memberinya kesempatan berjalan di atas air. Tiupan angin
itu cukup mengubah fokusnya, meski sebenarnya dia adalah nelayan yang cukup
dalam pengalaman. Soal angin, biasa. Soal gelombang, biasa. Soal berenang,
pasti bisa. Namun perkara fokus ini bukan soal biasa, biasa dan bisa melainkan fokus kita yang tertuju
pada Tuhan.
Salah satu yang dapat menjadi acuan bagi peranan Sintua HKBP dalam hubungannya
dengan peranan keluarga
sebagai penopang adalah kolaborasi Akwila da Priskila (Kis. 18:1-3). Keluarga
ini hidup sebagai tukang tenda, menghadapi pergumulan berat, diusir dari Roma
akhirnya pindah ke Korintus, mengalami banyak tekanan, termasuk dari segi
ekonomi, hingga kemudian berjumpa dan melayani bersama Paulus.
Alkitab
menyajikan sejumlah bentuk dan peranan keluarga pelayan dalam memulikan Tuhan
di tengah kehidupan umatNya. Zipora mendukung, Musa, menghindarkannya dari
hukuman Tuhan (Kel. 4:24-26), Yosua berkomitmen untuk membawa seluruh
keluarganya beribadah kepada Tuhan (Yos. 24:15), Yohanes Pembaptis anak
Imam Zakharia dan Elizabet yang dipakai Tuhan (Luk. 1:57-66), Timotius
memiliki ikatan kuat dengan Lois, neneknya, dan Eunike, ibunya. (2 Tim.
1:5), Timotius memberikan syarat yang sangat ketat bagi para penatua dan
diaken, khususnya keluarga (1 Tim. 3:1-13) termasuk koreksi terhadap peran
Imam Eli yang tidak tegas terhadap anak-anaknya membuat Tuhan murka
kepadanya (1 Sam. 3:11-14),
Melalui
gambaran ini, dapat disimpulkan dua peranan utama keluarga dalam melayani Tuhan
di Jemaat, Keluarga, Masyarakat: Pertama, Keluarga menjadi ecclesia domestica (tanda kehadiran kristus di dunia), keluarga jadi benteng, menyediakan rasa aman, saling
menerima, menunjang pencapaian setiap kebutuhan dan tujuan pelayanan dalam hidup.Kedua, keluarga
adalah media utama dimana Gereja hidup, tumbuh dan berkembang. Kehadiran Gereja
di tengah-tengah masyarakat, diwakili oleh keluarga.
Kembali
kepada Sintua HKBP dalam menghadapi lajunya perubahan dunia di era Revolus
Digital ini, diperlukan, Pertama,
kesiapan berubah dan berbuah di dalam Kristus yang sama pentingnya
memperbaharui diri dan dibaharui di dalam Kristus.Kedua, Sintua HKBP tidak boleh terlambat dalam
memberi tuntunan dan daya dorong dalam peziarahan umat akan Tuhan.Ketiga, Tuhan
tentu tidak mau melihat dunia hanyut oleh zaman, Tuhan memilih hadir dekat
dengan ciptaanNya. Ia selalu memilih berkomunikasi dengan struktur yang
dimiliki manusia. Yesus sendiri menggunakan sejumlah aspek budaya sekitar
menjadi saranaNya menyerta kita, seperti anggur, domba, bajak, ikan, dll.
Artinya perkembangan teknologi dan
sejenisnya dapat menjadi locus untuk misi. Kemajuan teknologi era digital ini
dapat dimanfaatkan untuk seluas-luasnya memberitakan Kabar Baik di tengah bumi
ini tanpa dihalangi oleh batas-batas temporal, ruang, suku dan bangsa.
4.
Penutup
Sesunguhnya masih banyak peran dan
fungsi Sintua dan Keluarga sebagai pelayan di tengah kehidupan ini yang sudah
dikenal jauh sejak Perjanjian Lama, sebagai yang “dipatujolo” dari berbagai
faktor, termasuk dari segi usia, pengalaman, di tengah-tengah umat dan
masyarakat (Kej 10:21;
25: 23; Ul. 5: 23; I sam 4: 3; I Taw 11: 3). Namun yang lebih mendesak untuk
saat ini adalah penghayatan kembali dan utuh akan
makna panggilan menjadi seorang sintua dan menjadi keluarga sintua.
Hosa partondion (spiritualitas) pelayanan sintua dan keluarga sintua
dinilai perlu mengalami perjumpaan kembali yang otentik dengan Yesus Kristus
sebagai sumber panggilan itu dalam menghadapi segala kebutuhan dan kebuntuan
pelayanan yang kita hadapi saat ini. Selamat membakti. Tuhan memberkati
Beberapa
Sumber:
Hackett, Rosalind I. J., Religion and the Internet. Dalam
Diogenes
Harari, Yuval Noah. Homo Deus: ABrief History of Tomorrow. London:
Harvil Secker, 2015
Hjarvard, Stig, Themediatization
of religion: a theory of the media as agent of religious change. Sweden:
Upsala, 2006
Kurzweil,
Ray. The age of spiritual machines: when
computers exceed human intelligence. New York: Viking, 1999
Moravec,Hans, "Letter from Marovaec
to Pensore" In Thinking robots, an
an aware internet, and cyberpunk librarians: The 1992 LITA president program.
R. Bruce Miller (peny.) Chicago: Library and Information Technology
Association, 1992
Mosco, Vincent, The political economy of communication: rethinking and renewal.
London: Sage Publications. 1996
Park, Jong Soo. Teaching theology in a technological age.
Yevette Deburge, (peny). Newcastle: Cambridge Scholars Pu, 2015
Singh,
M. Peter, “An Overview of Cybertheology”
Paper presented at Seminar on Ekklesiology in Cyber Age, Bangalore, June 26-27,
2014
Spadaro, Antonio, Cybertheology: Thinking Christianity in the Era of the Internet.
New York: Fordham University Press, 2014): Kindle edition.
[1]
Disampaikan pada Pembinaan Parhalado Sintua dan Keluarga Serta
Guru Sekolah Minggu HKBP Resort Tigalingga. Penulis
adalah Dosen STT HKBP Pematangsiantar, NIDN: 2305077923, Ketua Program Pasca
Sarjana STT HKBP, pengampu bidang studi biblika dan juga sebagai konviner Sub
Komisi RPP HKBP periode 2016-2020 dan anggota Litbang HKBP 2016-2020. Publikasi
ilmiahnya adalah Aspek Ekonomi Sabat: Suatu Telaah
Teologis terhadap Aspek Ekonomi dari Sabat dalam Keluaran 16 dan Relevansinya
bagi Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Beberapa
dari buku yang ditulis, Jumbai Jubah yang Terkulai, Menata Hari dengan Hati,
dll.
[2]Ray Kurzweil. The age of
spiritual machines: when computers exceed human intelligence. (New York:
Viking, 1999), 142
[3]Hans Moravec, "Letter from Marovaec to Pensore" In Thinking robots, an an aware internet, and
cyberpunk librarians: The 1992 LITA president program. R. Bruce Miller
(peny.) (Chicago: Library and Information Technology Association, 1992), 20
[4]Survei nasional CSIS periode 23-30 Agustus 2017 melaporkan
penetrasi media sosial sangat kuat di kalangan milenial dibanding non milenial.
Akun facebook misalnya dimiliki oleh 81,7% milenial dan hanya 23,4% non
milenial yang memiliki akun facebook. Selain itu 54,3% kalangan milenial
mengaku setiap hari membaca media online berbeda jauh dengan non milenial yang
membaca online hanya mencapai 11,9%.
[5]Kursus-kursus yang
menjanjikan perubahan dramatis, instan, untuk sesegara mungkin memiliki capaian
spiritual tertentu dalam jangka yang cukup singkat, beberapa saat atau beberapa
hari.
[6]Stig Hjarvard, The
mediatization of religion: a theory of the media as agent of religious change.
Sweden: Upsala, 2006
[7]Vincent Mosco, The
political economy of communication: rethinking and renewal. London: Sage
Publications. 1996, 157